Analisa Penurunan Efektifitas Electrostatic Precipitator yang Menjadi Penyebab Peningkatan Emisi Abu Pada PLTU Batu Bara
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara adalah salah satu sumber energi yang signifikan dalam memenuhi kebutuhan listrik di banyak negara. Namun, operasional PLTU batubara dapat menyebabkan dampak lingkungan yang serius, termasuk emisi abu yang tinggi. Emisi abu yang berlebihan dapat mengganggu kualitas udara, mengancam kesehatan manusia, dan melanggar peraturan lingkungan yang telah ditetapkan.
Dalam konteks ini, root cause analysis (analisis akar penyebab) menjadi pendekatan yang penting untuk mengidentifikasi penyebab akar dari emisi abu yang tinggi pada PLTU batubara. Root cause analysis adalah metode sistematis yang digunakan untuk mengeksplorasi dan memahami akar penyebab masalah, bukan hanya mengatasi gejala atau konsekuensi yang muncul. Dengan mengidentifikasi dan memahami penyebab akar masalah, perbaikan yang tepat dapat dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan emisi abu yang berlebihan.
Pembuatan root cause analysis untuk emisi abu yang tinggi pada PLTU batubara melibatkan analisis mendalam tentang berbagai aspek yang terkait dengan proses pembakaran batubara, sistem pemisahan partikel, perawatan peralatan, dan pengoperasian keseluruhan PLTU. Dengan mengidentifikasi penyebab akar masalah, langkah-langkah perbaikan yang tepat dapat diambil, termasuk perbaikan peralatan, pemeliharaan yang lebih baik, pengoptimalan proses, atau penerapan teknologi yang lebih efisien.
Dalam pembuatan root cause analysis, penting untuk melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk insinyur perawatan, operator PLTU, manajemen fasilitas, dan ahli lingkungan. Kolaborasi ini memungkinkan pengumpulan data yang komprehensif, analisis yang akurat, serta pengambilan keputusan yang terinformasi dan berkelanjutan.
Dengan memahami penyebab akar masalah ini, diharapkan muncul solusi yang efektif untuk mengurangi emisi abu yang berlebihan, meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan lingkungan, dan menjaga keseimbangan antara kebutuhan energi dan pelestarian lingkungan.
Kemungkinan penyebab kerusakan pada ESP yang mengakibatkan tingginya kandungan abu pada stack ditunjukkan pada gambar 1. berikut

Gambar 1. Root cause kerusakan ESP
Berdasarkan gambar 1. penyebab kerusakan yang signifikan terjadi pada esp adalah:
1. Kontaminasi partikel unburncarbon
Kontaminasi partikel yang masuk ke dalam ESP adalah berupa impurities batubara atau unburncarbon (UC). UC merujuk pada karbon yang tidak mengalami reaksi pembakaran sepenuhnya selama proses pembakaran batubara di boiler. Karbon ini bisa ada dalam bentuk partikel-partikel padat atau gas yang tidak terbakar sepenuhnya.
Dampak dari adanya unburned carbon terhadap ESP (Electrostatic Precipitator) adalah sebagai berikut:
- Unburned carbon dapat mengurangi efisiensi penangkapan debu oleh ESP. ESP bekerja dengan mengenakan muatan listrik pada partikel-partikel debu yang terbawa oleh gas pembakaran dan menariknya ke permukaan elektroda yang bermuatan berlawanan. Namun, unburned carbon memiliki sifat listrik yang konduktif dan dapat menghalangi proses pengumpulan debu.
- Unburned carbon yang melewati ESP dapat mengendap dan menumpuk di dalam sistem, termasuk pada permukaan elektroda. Akumulasi unburned carbon ini dapat menyebabkan pembentukan lapisan yang mengisolasi elektroda dari gas pembakaran. Hal ini mengurangi efisiensi dan kinerja ESP secara keseluruhan.
- Jika unburned carbon tidak berhasil ditangkap oleh ESP, maka partikel-partikel karbon tersebut dapat terlempar ke udara bersama dengan gas pembakaran. Ini menyebabkan peningkatan emisi debu ke lingkungan, yang dapat berdampak negatif pada kualitas udara dan lingkungan sekitar.
Monitoring UC telah dilakukan secara rutin baik dalam bentuk visual yaitu dengan melihat adanya debu hitam pada saat proses drain fly ash hopper di ESP atau berdasarkan lab dengan mengambil sample bulanan pada fly ash hopper di ESP.
2. Peningkatan Kandungan Abu.
Abu pada proses pembakaran batubara di boiler terjadi karena adanya mineral-mineral non-karbon yang terkandung dalam batubara. Ketika batubara dibakar, proses pembakaran tidak mengubah mineral-mineral ini menjadi gas, melainkan membakar sebagian besar karbon dalam batubara untuk menghasilkan panas. Sisa-sisa mineral non-karbon yang tidak terbakar ini membentuk partikel-partikel padat yang disebut abu batubara.
Produksi abu batubara dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk pemakaian batubara. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi abu batubara meliputi:
- Jenis dan kualitas batubara memiliki peran penting dalam produksi abu batubara. Batubara yang mengandung lebih sedikit mineral non-karbon akan menghasilkan jumlah abu yang lebih sedikit. Batubara yang memiliki kandungan karbon yang tinggi dan kandungan mineral yang rendah cenderung menghasilkan abu yang lebih sedikit.
- Kandungan mineral non-karbon: Semakin tinggi kandungan mineral non-karbon dalam batubara, semakin banyak abu yang dihasilkan saat proses pembakaran. Mineral-mineral seperti silika (SiO2), aluminium oksida (Al2O3), besi oksida (Fe2O3), kalsium oksida (CaO), dan magnesium oksida (MgO) akan berkontribusi pada produksi abu.
3. Peningkatan Temperature Flue Gas
Temperatur flue gas yang tinggi dapat meningkatkan resistivitas partikel debu yang terbawa oleh gas tersebut. Resistivitas yang tinggi berarti partikel debu kurang responsif terhadap muatan listrik yang diberikan oleh ESP. Akibatnya, proses pengumpulan partikel debu menjadi lebih sulit.
Temperatur flue gas yang tinggi dapat menyebabkan perubahan sifat fisik partikel debu, seperti ukuran, kepadatan, dan kelembaban. Perubahan ini dapat mempengaruhi kemampuan partikel debu untuk ditangkap oleh ESP. Misalnya, partikel debu yang lebih kecil atau memiliki kepadatan yang lebih rendah dapat lebih sulit untuk ditangkap oleh ESP. Dari sisi komponen, temperatur flue gas yang tinggi juga dapat menyebabkan kerusakan pada elektroda ESP. Panas yang berlebih dapat menyebabkan deformasi atau kerusakan pada permukaan elektroda, mengurangi kinerja dan efektivitas ESP.
4. Kerusakan Kolektor
Kerusakan pada kolektor ESP disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
Korosi
Korosi adalah salah satu penyebab umum kerusakan pada kolektor ESP. Korosi terjadi ketika elektroda dan permukaan logam lainnya pada ESP terpapar dengan gas buang yang mengandung senyawa yang bersifat korosif. Korosi dapat menyebabkan deformasi, kerapuhan, atau kerusakan pada permukaan elektroda dan struktur ESP secara keseluruhan.
Erosi
Erosi terjadi ketika partikel debu yang terbawa oleh gas buang menyebabkan gesekan dan abrasi pada permukaan elektroda atau material kolektor lainnya. Erosi yang berulang-ulang dapat mengikis dan merusak permukaan elektroda, mengurangi efisiensi pengumpulan debu, dan mengurangi umur operasional kolektor ESP.
Deposisi abu yang berlebihan
Jika jumlah abu yang terkumpul pada elektroda atau material kolektor ESP melebihi kapasitas pengumpulan atau kemampuan pembersihan sistem, maka dapat terjadi penumpukan yang berlebihan. Penumpukan abu yang berlebihan dapat menghalangi aliran gas dan mengurangi efisiensi pengumpulan debu oleh ESP.
Kelembaban yang tinggi
Kelembaban yang tinggi dalam gas buang dapat menyebabkan kondensasi air pada permukaan elektroda atau material kolektor ESP. Kondensasi air dapat menyebabkan korosi, pembentukan kerak, dan pertumbuhan mikroorganisme yang dapat merusak permukaan dan kinerja ESP.
Overloading
Overloading terjadi ketika jumlah partikel debu yang terkumpul pada ESP melebihi kapasitas desain atau kemampuan operasional sistem. Overloading dapat menyebabkan penurunan efisiensi pengumpulan debu, peningkatan tekanan drop, dan kerusakan pada elektroda akibat beban mekanis yang berlebihan.
Ketidakseimbangan listrik
Ketidakseimbangan arus listrik atau distribusi muatan pada elektroda dapat menyebabkan kerusakan pada permukaan elektroda. Ketidakseimbangan listrik dapat mempengaruhi efektivitas pengumpulan debu dan menyebabkan kerusakan lokal pada elektroda.
Daftar Pustaka
[1] | Seodjoko Tirtosoekotjo, Low Rank Coal And Its Contribution To The Eenergy Development In Indonesia, Indonesian Coal Mining Association, 2006 |
[2] | J. Moran and H. N. Saphiro, Fundamentals of Engineering Thermodynamics, John Wiley & Sons Inc, Chichester, 2011. |
[3] | International Organization for Standardization. (2014). ISO 50006:2014 Energy management systems – Measuring energy performance using energy baselines (EnMS) and energy performance indicators (EnPI) – General principles and guidance. Geneva: ISO. |
[4] | Wu, J., Ma, Z., Zhou, Y., Wang, B., & Chen, Y. (2020). A novel multi-objective optimization approach for coal-fired power plant operation based on artificial intelligence. Applied Energy, 279, 115926. |
[5] | Wang, Y., Liu, X., Liu, Y., Yang, Y., & Zhang, J. (2020). Research on coal-fired power plant operation optimization based on artificial intelligence algorithm. Journal of Cleaner Production, 256, 120409. |
[6] | Ian F. Rotha, Lawrence L. Ambs, Incorporating externalities into a full cost approach toelectric power generation life-cycle costing, Energy, 2004: 29 2125-2144 |
[7] | Indonesia Energy Outlook 2019, Secretariat General National Energy Council, ISSN 2527-3000 |
[8] | Jagtap, H. P., & Bewoor, A. K. (2017). Use of Analytic Hierarchy Process Methodology for Criticality Analysis of Thermal Power Plant Equipments. Materials Today: Proceedings. https://doi.org/10.1016/j.matpr.2017.02.038 |
[9] | Billinton, R., & Allan, R. N. (1992). Reliability Evaluation of Engineering Systems. In Reliability Evaluation of Engineering Systems. https://doi.org/10.1007/978-1-4899-0685-4 |
[10] | Perakis, M., Abbott, P., & Decoster, M. (2001). EPRI Project Managers Guideline on Proactive Maintenance. www.epri.com |
[11] | Breeze, P. (2014). Coal-fired Power Plants. In Power Generation Technologies (2nd ed.). Elsevier Ltd. https://doi.org/10.1016/b978-0-08-098330-1.00003-x |